Rachmat Hendayana dan
Sjahrul Bustaman
Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor
ABSTRAK
Suatu pengkajian empiris tentang LKM pertanian yang
bertujuan untuk mengetahui kinerja LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi
pedesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa pada awal tahun 2007 melalui
pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif menggunakan metode group
interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan
pengguna LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif
terhadap LKM contoh yang dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai
berikut: (a) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai
intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa
pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; (b) Secara faktual pelayanan
LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih biasa pada
usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum
mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi
dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon
LKM; (c) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada
aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital,
kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis
nasabah/pengguna jasa layanan LKM; (d) Untuk memprakarsasi penumbuhan dan
pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas
bagi SDM calon pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis
kepada nasabah pengguna kredit.
Kata Kunci: LKM, Perbankan, Usahatani, Seed
capital
PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi
pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Ekonomi Nasional,
keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk
fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan
usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan
indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek
usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong peningkatan
produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi teknologi
yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah. Untuk
mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan modal
dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan
jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak memiliki
akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan
dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas uang -
rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain
yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena
terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani
akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Berkenaan dengan hal
tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pertanian akan menjadi salah
satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis sebagai intermediasi
dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini tidak
terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional.
Di lingkungan masyarakat,
telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit dengan pola yang beragam, namun
umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha ekonomi non
pertanian. Oleh karena itu muncul persoalan: (a) sejauhmanakah keberadaan LKM
di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya dalam fasilitasi
pembiayaan usahatani? (b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberlanjutan
LKM tersebut dan (c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan yang
efektif untuk mendukung usahatani?
Makalah bertujuan membahas
fenomena LKM dan perspektifnya dalam pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus
pada adopsi inovasi pertanian, serta mengungkap faktor-faktor kritis
keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan LKM ke depan untuk
mendukung kegiatan usahatani. Hasil pembahasan akan berguna selain untuk
melengkapi wacana LKM yang sudah ada, juga menjadi bahan masukan dalam
penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi pedesaan ke depan.
METODOLOGI
Kerangka Pemikiran
Tidak dipungkiri, tumbuh
dan berkembangnya LKM di Indonesia diilhami oleh keberhasilan Muhammad Yunus
dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal dengan Grameen Bank (GB).
Banyak orang melihat model GB sebagai suatu model pendekatan yang sukses dalam
pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran perempuan.
Melihat kesuksesan GB,
banyak pihak yang mereplikasi metode GB terutama pada metode penyaluran
pinjaman yang dilakukan kepada pengguna, tetapi tanpa mereplikasi sistem
peningkatan kesejahteraan masyarakatnya yang berupa penyediaan layanan simpanan
kecil dan penyediaan jaminan sosial. Padahal kesejahteraan masyarakat dalam arti
sesungguhnya terletak pada pemilikan tabungan dan jaminan sosial di masa
mendatang (Anonim, 2007).
Replikasi pola GB di Indonesia
mulai dilakukan pada tahun 1989 yang diprakarsai Puslitbang Sosek Pertanian
Badan Litbang Pertanian yang pengelolaan selanjutnya dilakukan Yayasan
Pengembangan Usaha Mandiri (YPKUM) berlokasi di Nanggung Jawa Barat. Berikutnya
dilakukan di beberapa daerah lain seperti Tanggerang, di wilayah pasang surut
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan tempat lain yang belum teridentifikasi.
Bagi Indonesia,
keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaannya oleh Lembaga Keuangan Mikro sudah
berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar dan
praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat
(2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain. Momentum
pembahasan LKM senantiasa terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, belum
secara spesifik sebagai fasilitasi pembiayaan usahatani.
Menurut Wijono (2005), LKM
di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai
perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya
masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan
karakteristiknya masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi yang sama
sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM
sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan
karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan rumah tangga
berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan
mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang cukup
penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan
(Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung peranan
kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi kemiskinan
ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di Washington
DC, 1997.
Berkembangnya berbagai
skema keuangan mikro dan semakin tingginya kebutuhan akan pengembangan
pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong terbentuknya forum
Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM) untuk mengembangkan
keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin secara lebih
luas. Gema PKM disahkan presiden pada tahun 2000, beranggotakan tujuh pemangku
kepentingan yaitu piha pemerintah, lembaga keuangan, LSM, pihak swasta, akademisi
atau peneliti, organisasi massa,
serta lembaga pendanaan (Anonim, 2007).
Walaupun di lingkungan
masyarakat telah banyak tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang terlibat di
dalam pembiayaan usaha mikro dengan beragam bentuk seperti bank umum atau Bank
Perkreditan Rakyat (BPR), modal ventura, program Pengembangan Usaha Kecil dan
Koperasi (PUKK), pegadaian dan sebagainya (Retnadi, 2003), namun kesenjangan
antara permintaan dan penawaran layana keuangan mikro masih tetap ada. Di
sektor pertanian, maraknya LKM di masyarakat itu belum serta merta diikuti oleh
pemenuhan kebutuhan permodalan bagi petani. Faktanya, kebutuhan permodalan
petani untuk pembiayaan usahatani selalu menjadi persoalan.
Lembaga jasa finansial
berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada dasarnya sangat diperlukan untuk
mendukung kegiatan pembangunan ekonomi pedesaan utamanya sebagai lembaga untuk
fasilitasi jasa pembiayaan usahatani. Hal itu didasarkan fakta hampir sebagian
besar petani menghadapi permasalahan adopsi teknologi karena lemah dalam permodalan.
Di sisi lain lembaga perbankan sering tidak bisa diakses oleh petani karena
berbagai faktor.
Data dan Sumber Data
Makalah dikembangkan dari
sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa meliputi Jawa Barat,
Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan
pada awal tahun 2007. Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM terpilih dan
nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan wawancara
individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner.
Jenis data primer yang
dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi organisasi dan
manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan peluang
pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan meliputi:
karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani. Selain
data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi
berbagai dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan
kelembagaan keuangan mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit
Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Penganalisisan data secara
garis besar dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure
Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif LKM dalam
pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan (= strengthen),
kelemahan (= weaknesses), peluang (= opportunity ) dan ancaman (=
threat ) atau disingkat SWOT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
Hasil identifikasi di
lapangan menjumpai terdapat tiga kategori bentuk LKM yang berkembang yakni LKM
Bank, LKM Koperasi dan LKM bukan Bank bukan Koperasi. Masing-masing LKM
menerapkan skema perkreditan yang berbeda. Pola operasional LKM Bank mengikuti
pendekatan perbankan umum/ konvensional, LKM Koperasi menerapkan pola simpan
pinjam sedangkan LKM bukan Bank dan Bukan Koperasi pola operasionalnya beragam.
Skema perkreditan LKM
Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) tersebut meliputi replikasi pola Grameen bank,
Gabungan Kelompok Tani dan Unit Permodalan Pengelola Permodalan Kelompok Petani
(UPPKP). Pengelolaan keuangan oleh Gabungan Kelompok Tani dan UPPKP pada
dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem bergulir. Capital
yang digunakan bersumber dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Secara faktual, pelayanan
LKM contoh di lokasi pengkajian telah menunjukkan keberhasilan. LKM yang
mereplikasi pola GB di Nanggung Bogor-Jawa Barat yang dikelola YPKUM, LKM UMKM
di Tangerang-Banten yang dibina IPB, telah menunjukan keberhasilan, ditandai
oleh beberapa indikator seperti dikemukakan Cristina dalam Syukur (2002).
Dampak keberhasilan dilihat dari beberapa perubahan antara lain adanya peningkatan
partisipasi pendidikan anak-anak, peningkatan pendapatan pengusaha warungwarung
kecil, dan peningkatan aset rumah tangga.
Dari sisi kelembagaan,
indikator keberhasilan ditunjukkan oleh perkembangan jumlah peserta dan
perkembangan aset serta dana yang terserap. Di LKM yang dikelola YPKUM Bogor-Jawa
Barat misalnya, dana yang sudah tersalurkan sejak tahun 1989 sampai bulan Maret
2007 mencapai Rp 12 Milyar dengan kecenderungan meningkat, jumlah tabungan
anggota mencapai 2,6 Milyard. Non Perfomance Loan (NPL), yang menunjukkan
rasio tunggakan terhadap jumlah pinjaman relatif kecil (1,9 %), jauh dibawah
batas toleransi (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan cukup
bermanfaat bagi masyarakat sebagai tambahan modal untuk usaha produktif. Buktinya,
mereka mampu membayar angsuran kredit dengan lancar.
Wilayah kerja, jumlah
nasabah dan jumlah pinjaman juga terus meningkat. Pada awalnya, jumlah nasabah
hanya 10 orang pada 1 desa dan 1 kecamatan. Menginjak bulan Maret 2007 jumlah
nasabah meningkat pesat mencapai 5880 orang, tersebar di 12 kecamatan dan 83 desa.
Ada sebanyak
1491 kumpulan (kelompok kecil) yang terdiri dari 5 orang) dan 394 rembug pusat
(terdiri dari 2 - 6 kumpulan). Jumlah pinjaman per orangan pun mengalami peningkatan
cukup tajam, pada awalnya besarnya pinjaman anggota hanya sebesar Rp 200.000,
sekarang sudah ada yang boleh meminjam sebesar Rp 3 juta/th dengan bunga
pinjaman 2,5 % per bulan atau 30% per tahun.
Keberhasilan LKM di
Tangerang teridentifikasi dari kemampuan LKM memberikan sumbangan terhadap PAD
yang volumenya cenderung meningkat. Jika pada tahun 2006 menyetor PAD sebesar
Rp 289 Juta, maka setoran untuk tahun 2007 telah ditargetkan akan mencapai Rp
600 juta. Modal awal LKM diperoleh dari Pemda Kabupaten Tangerang semenjak
2004, dan terus didukung Pemda sampai tahun 2007 sehingga total modal sampai
tahun 2007 mencapai Rp 3,26 milyard.
Dari aset tabungan dan cash
money menunjukkan LPP-UMKM telah memiliki aset yang memadai. Tabungan yang
dimiliki sampai tahun 2007 tercatat sebesar Rp 7,5 milyar dengan total piutang
yang beredar di nasabah sebesar 5,7 milyar. Sedangkan cash money berupa
aktiva lancar yang tersedia sebanyak Rp 1,3 milyar. Perputaran uang cukup
besar, sebagai gambaran total penerimaan yang diterima LPP-UMKM per bulan
sekitar Rp 230 juta. Setelah dikurangi biaya operasional, lembaga ini masih
mendapatkan keuntungan Rp 100 juta per bulan.
Dari sumberdaya manusia
(SDM) yang terlibat, meskipun awalnya digerakkan oleh segelintir orang namun
dalam perkembangannya mengalami peningkatan pesat. Sumberdaya manusia yang
terlibat dalam kepengurusan LKM tercatat 53 orang karyawan (46 laki-laki dan 7
perempuan) dengan total wilayah layanan mencapai 7 kecamatan di Kabupaten
Tangerang.
Tingkat keberhasilan yang
dicapai LKM tersebut, agak berbeda dengan LKM sejenis yang khusus melayani
kegiatan usahatani seperti LKM Prima Tani di Jatim, Sulsel dan NTB. Pada LKM
yang disebutkan terakhir, kendalanya dihadapkan pada dukungan permodalan dan
keberlanjutan kegiatan LKM terkait dengan aspek kaderisasi dan kapabilitas
pengurus LKM.
Keberhasilan pengelolaan
keuangan oleh UPPKP di Gunung Kidul dicirikan oleh semakin meningkatnya volume
uang beredar di kelompok tani, dan semakin lancarnya tingkat pengembalian
pinjaman. Kondisi tersebut jauih lebih baik dibandingkan dengan ketika
pengelolaan keuangan kelompok ini masih dilakukan institusi penyalurnya (Dinas Teknis
terkait dengan Pertanian). Sementara itu di Sleman, penyaluran pembiayaan usahatani
yang dilakukan secara bergulir juga menunjukkan keberhasilan, ditandai dengan semakin
meningkatnya kemampuan anggota kelompok dalam mengembalikan pinjaman sehingga
volume pinjamannya juga lebih meningkat lagi. Kemampuan tersebut merupakan cerminan
efektifnya pinjaman dalam penggunaannya di sektor usahatani.
Hasil studi Holloh dan Prins
(2006) menunjukkan bahwa disamping ada LKM yang berhasil, ada pula yang kurang
berhasil bahkan mandeg (stagnan). LKM yang pesat pertumbuhannya adalah BPR yang
beroperasi di daerah perkotaan dan semi-perkotaan, LPD (Bali)
dan BMT (terutama di Jawa Tengah & Jawa Timur). Sedangkan yang mengalami
kemandegan misalnya keluarga LKM seperti LDKP (tidak termasuk LPD) dan BKD.
Berbagai embrio LKM yang ditimbulkan proyek-proyek seperti UPK/D belum menunjukkan
kemampuan untuk menghimpun simpanan dan menjalankan kegiatan operasionil secara
berkesinambungan karena terkait dengan aspek legalitas.
Faktor Kritis Pengelolaan LKM
Keunggulan usaha mikro
yang sudah teruji sampai saat ini adalah resistensinya terhadap gejolak krisis
ekonomi dan pengusaha usaha mikro biasanya merupakan debitor yang patuh
membayar kewajiban kreditnya. Di dalam pengelolaannya dihadapkan pada faktor
kritis yakni yang berkenaan dengan kelembagaan dan pengguna/nasabah.
Dari sisi kelembagaan,
permasalahan terkait dengan aspek sustainabilitas/ keberlanjutan. Keberlanjutan
LKM dipengaruhi oleh: (a) kapabilitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola LKM
dan (b) dukungan seed capital. Sementara itu diperlukan juga dukungan
faktor eksternal antara lain berupa payung hukum bagi upaya pengembangan LKM.
Rancangan Undang-undang LKM masih dalam perdebatan, namun menurut analisis para
pakar ada kehawatiran bahwa UU LKM nantinya malah membatasi lingkup layanan LKM
kepada masyarakat.
Dari sisi
nasabah/pengguna, aspek yang menjadi faktor kritis terkait dengan karakteristik
individu, jenis usaha dan kelayakan usahanya. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa usaha di sektor pertanian kurang dilirik oleh LKM, dengan alasan: berisiko
tinggi, perputaran cash flow lambat dan lain-lain. Dari pengalaman YPKUM Nanggung
dan LPP UMKM Tangerang diketahui proporsi dana yang dialokasikan untuk mendukung
kegiatan di sektor pertanian tidak lebih dari 5 % dari total pagu kredit LKM. Sebagian
besar dana LKM disiapkan untuk mendukung usaha di luar sektor pertanian. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika akhirnya muncul wacana untuk membentuk dan mengembangkan
LKM sendiri guna mendukung usaha di sektor pertanian.
Perspektif LKM Pertanian
Belajar dari keberhasilan
pengelolaan LKM untuk diterapkan dalam membangun LKM pertanian pada dasarnya
dapat saja dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola yang sudah berkembang
dengan melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen Bank, maupun pola UPPKP
serta pola lainnya dapat dijadikan acuan salah satu alternatif skim perkreditan
untuk diaplikasikan untuk mendukung usahatani, namun dengan beberapa penyesuaian
terkait dengan karakteristik usahatani sebagai berikut:
(1). Pendekatan kelompok.
Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan,
kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan
dengan kelompok tani yang sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang.
(2). Perluasan sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum
ibu saja, melainkan perlu juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi
anggota kelompok tani adalah kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana
untuk adopsi teknologi usahatani.
(3). Seleksi calon pengguna kredit
Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan
usahatani, salah satunya yang penting dipertimbangkan adalah adanya
diversifikasi usaha (on farm dengan off farm dan non farm).
(4). Volume Pagu Kredit
Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar
kebutuhan tambahan biaya usahatani dan realisasi pencairannya disesuaikan
dengan perilaku pola tanam. Studi kelayakan usahatani menjadi acuan. Tiap orang
kebutuhannya akan berbeda.
(5). Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan
perkreditan. Oleh karena itu patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar.
(6). Waktu pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk
mingguan dan atau setelah panen. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah
panen (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan
komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan setelah panen,
misal 70% berbanding 30%.
(7). Pendampingan dan Monitoring
Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan,
sehingga jika terjadi masalah selama proses pemanfatan kredit bisa segera
dicarikan solusinya.
(8). Pelatihan
Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk
secara terus menerus meningkatkan kapabilitas manajemen LKM
Langkah Strategis Inisiasi LKM
Strategi utama untuk
memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di sektor pertanian selain harus
tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional hendaknya
dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon
kelompok sasaran, antara lain terkait dengan eksistensinya sebagai kelompok
paling tidak dalam dua tahun terakhir. Dalam penetapan calon kelompok sasaran
ini seyogyanya berpedoman pada mekanisme yang sistematis dan terstruktur
berdasarkan langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada operasionalisasi
kegiatan.
(2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria
tersebut diseleksi oleh pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas
pengembangan pertanian.
(3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran
kelompok yang layak melakukan kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan
didasarkan pada keragaan organisasi kelompok tani yang difokuskan pada kondisi
kinerja organisasi kelompok tani.
(4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana
penguatan modal usaha kelompok (penyediaan seed capital).
(5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap
kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam
adminitrasi pengelolaan dana.
(6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan
pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan
meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung
telah berkurang.
(7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk
meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan
usaha kepada nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
(1) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran
strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini tidak
terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional;
(2) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan
keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non
pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal
itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung
usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM;
(3) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor
pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus,
dukungan seed capital, kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik
usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa layanan LKM;
Saran
Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM
pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon
pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah
pengguna kredit.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Nasional
untuk Pengembangan Keuangan Mikro. http://www.profi.or.id/ind/.
Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan Mikro:
Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel
Th II. No 8. www.ekonomirakyat.org.
Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga Keuangan
Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003
Holloh, D dan Hendrik Prins. 2006.
Pengaturan/Peraturan, Pengawasan & Dukungan Bagi Lembaga Keuangan Mikro
Bukan Bank Bukan Koperasi. http://profi.or.id/ind/downloads/ThirdWindowsummary_MFIstudy_translation_Ind_
.pdf
Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan Sistem
Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Artikel - Th. I -
No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat.
www.ekonomirakyat.org
Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan
Terkait Dengan Kebijakan otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal Ekonomi
Pertanian. www.ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku
Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca
Sarjana. IPB.
Syukur, M., 2006. Membangun Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) Pertanian yang Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta
Prima Tani.Volume 1 Nomor 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian.
Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan
Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus
Mata Rantai Kemiskinan.Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www.fiskal.depkeu.
go.id/bkf/kajian/ wiloejo-1.pdf