twitter




Rachmat Hendayana dan Sjahrul Bustaman
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor

ABSTRAK
Suatu pengkajian empiris tentang LKM pertanian yang bertujuan untuk mengetahui kinerja LKM dalam perspektif pembangunan ekonomi pedesaan telah dilakukan di Jawa dan Luar Jawa pada awal tahun 2007 melalui pendekatan pemahaman pedesaan secara partisipatif menggunakan metode group interview dan individual indepth interview melibatkan pengurus dan pengguna LKM. Dengan menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif terhadap LKM contoh yang dipilih secara sengaja, diperoleh gambaran sebagai berikut: (a) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; (b) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih biasa pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM; (c) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa layanan LKM; (d) Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.
Kata Kunci: LKM, Perbankan, Usahatani, Seed capital

PENDAHULUAN

Pembangunan ekonomi pedesaan sebagai bagian integral dari Pembangunan Ekonomi Nasional, keberhasilannya banyak di sokong oleh kegiatan usahatani. Hal itu merujuk fakta, sebagian besar masyarakat di pedesaan menggantungkan hidupnya dari kegiatan usahatani. Oleh karena itu tidak mengherankan, kegiatan usahatani sering dijadikan indikator pembangunan ekonomi pedesaan.
Di dalam praktek usahatani, diperlukan inovasi teknologi guna mendorong peningkatan produktivitas dan produksinya. Kelemahan petani justru pada adopsi inovasi teknologi yang relatif rendah sebagai dampak penguasaan modal usahatani yang lemah. Untuk mengatasi kekurangan modal usahatani, petani biasanya mengusahakan tambahan modal dari berbagai sumber dana baik dari lembaga keuangan formal (perbankan) maupun kelembagaan jasa keuangan non formal. Namun umumnya karena petani sering tidak memiliki akses terhadap lembaga perbankan konvensional, ia akan memilih untuk berhubungan dengan lembaga jasa keuangan informal seperti petani pemodal (pelepas uang - rentenir), atau mengadakan kontrak dengan pedagang sarana produksi dan sumber lain yang umumnya sumber modal tersebut mengenakan tingkat bunga yang irrasional karena terlalu tinggi dan mengikat. Kondisi demikian berdampak buruk tidak saja bagi petani akan tetapi juga merusak tatanan perekonomian di pedesaan.
Berkenaan dengan hal tersebut, keberadaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pertanian akan menjadi salah satu solusinya. LKM pertanian memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktifitas perekonomian bagi masyarakat tani yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional.
Di lingkungan masyarakat, telah banyak LKM yang menyediakan skim kredit dengan pola yang beragam, namun umumnya bergerak dalam fasilitasi pembiayaan bagi usaha-usaha ekonomi non pertanian. Oleh karena itu muncul persoalan: (a) sejauhmanakah keberadaan LKM di lingkungan masyarakat pedesaan mampu menjalankan perannya dalam fasilitasi pembiayaan usahatani? (b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberlanjutan LKM tersebut dan (c) Bagaimanakah strategi pengembangan LKM ke depan yang efektif untuk mendukung usahatani?
Makalah bertujuan membahas fenomena LKM dan perspektifnya dalam pembangunan ekonomi pedesaan dengan fokus pada adopsi inovasi pertanian, serta mengungkap faktor-faktor kritis keberhasilan LKM dan menyusun strategi pengembangan LKM ke depan untuk mendukung kegiatan usahatani. Hasil pembahasan akan berguna selain untuk melengkapi wacana LKM yang sudah ada, juga menjadi bahan masukan dalam penyusunan kebijakan terkait pembangunan ekonomi pedesaan ke depan.

METODOLOGI

Kerangka Pemikiran
Tidak dipungkiri, tumbuh dan berkembangnya LKM di Indonesia diilhami oleh keberhasilan Muhammad Yunus dalam mengembangkan LKM di Banglades yang terkenal dengan Grameen Bank (GB). Banyak orang melihat model GB sebagai suatu model pendekatan yang sukses dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan peran perempuan.
Melihat kesuksesan GB, banyak pihak yang mereplikasi metode GB terutama pada metode penyaluran pinjaman yang dilakukan kepada pengguna, tetapi tanpa mereplikasi sistem peningkatan kesejahteraan masyarakatnya yang berupa penyediaan layanan simpanan kecil dan penyediaan jaminan sosial. Padahal kesejahteraan masyarakat dalam arti sesungguhnya terletak pada pemilikan tabungan dan jaminan sosial di masa mendatang (Anonim, 2007).
Replikasi pola GB di Indonesia mulai dilakukan pada tahun 1989 yang diprakarsai Puslitbang Sosek Pertanian Badan Litbang Pertanian yang pengelolaan selanjutnya dilakukan Yayasan Pengembangan Usaha Mandiri (YPKUM) berlokasi di Nanggung Jawa Barat. Berikutnya dilakukan di beberapa daerah lain seperti Tanggerang, di wilayah pasang surut Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Jawa Timur dan tempat lain yang belum teridentifikasi.
Bagi Indonesia, keuangan mikro bukan hal baru. Pengelolaannya oleh Lembaga Keuangan Mikro sudah berkembang sejak lama dan telah menjadi topik pembicaraan para pakar dan praktisi ekonomi kerakyatan seperti antara lain Martowijoyo (2002), Sumodiningrat (2003), Budiantoro (2003), Ismawan (2002), Syukur (2002) dan lain-lain. Momentum pembahasan LKM senantiasa terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan, belum secara spesifik sebagai fasilitasi pembiayaan usahatani.
Menurut Wijono (2005), LKM di masyarakat sudah banyak dibentuk dan tersebar mulai dari perkotaan sampai perdesaan, atas prakarsa pemerintah, swasta maupun kalangan lembaga swadaya masyarakat dalam bentuknya yang formal, non formal, sampai informal dengan karakteristiknya masing-masing. Namun LKM tersebut memiliki fungsi yang sama sebagai intermediasi dalam aktivitas suatu perekonomian.
Banyak pihak meyakini LKM sebagai suatu alat pembangunan yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu: menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan (Anonim, 2007). Menurut Martowijoyo (2002) dan Syukur (2006) gaung peranan kredit mikro untuk penciptaan lapangan kerja mandiri guna mengurangi kemiskinan ini mulai berkembang luas di dunia sejak ikrar Microcredit Summit di Washington DC, 1997.
Berkembangnya berbagai skema keuangan mikro dan semakin tingginya kebutuhan akan pengembangan pelayanan jasa keuangan bagi masyarakat miskin mendorong terbentuknya forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (Gema PKM) untuk mengembangkan keuangan mikro sebagai industri agar mencapai masyarakat miskin secara lebih luas. Gema PKM disahkan presiden pada tahun 2000, beranggotakan tujuh pemangku kepentingan yaitu piha pemerintah, lembaga keuangan, LSM, pihak swasta, akademisi atau peneliti, organisasi massa, serta lembaga pendanaan (Anonim, 2007).
Walaupun di lingkungan masyarakat telah banyak tumbuh dan berkembang lembaga keuangan yang terlibat di dalam pembiayaan usaha mikro dengan beragam bentuk seperti bank umum atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR), modal ventura, program Pengembangan Usaha Kecil dan Koperasi (PUKK), pegadaian dan sebagainya (Retnadi, 2003), namun kesenjangan antara permintaan dan penawaran layana keuangan mikro masih tetap ada. Di sektor pertanian, maraknya LKM di masyarakat itu belum serta merta diikuti oleh pemenuhan kebutuhan permodalan bagi petani. Faktanya, kebutuhan permodalan petani untuk pembiayaan usahatani selalu menjadi persoalan.
Lembaga jasa finansial berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) pada dasarnya sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan pembangunan ekonomi pedesaan utamanya sebagai lembaga untuk fasilitasi jasa pembiayaan usahatani. Hal itu didasarkan fakta hampir sebagian besar petani menghadapi permasalahan adopsi teknologi karena lemah dalam permodalan. Di sisi lain lembaga perbankan sering tidak bisa diakses oleh petani karena berbagai faktor.

Data dan Sumber Data
Makalah dikembangkan dari sebagian hasil pengkajian LKM di Jawa dan Luar Jawa meliputi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan pada awal tahun 2007. Pengumpulan data primer dari Pengurus LKM terpilih dan nasabah LKM sebagai responden dilakukan melalui diskusi kelompok dan wawancara individual (survey) menggunakan pedoman pertanyaan dan kuesioner.
Jenis data primer yang dikumpulkan dari pengurus lebih difokuskan pada kondisi organisasi dan manajemen (O & M), skim kredit, faktor-faktor pendukung, kendala dan peluang pengembangan LKM. Sementara itu dari nasabah, data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik ekonomi rumah tangga dan permasalahan pembiayaan usahatani. Selain data primer dikumpulkan juga data sekunder melalui penelusuran informasi berbagai dokumen laporan kegiatan/program dan kebijakan pengembangan kelembagaan keuangan mikro, geografi, sosial ekonomi, dan review skim kredit Lembaga Keuangan Mikro (LKM).
Penganalisisan data secara garis besar dilakukan secara deskriptif kualitatif, dipertajam dengan analisis Structure Conduct Performance (SCP). Untuk mengungkap perspektif LKM dalam pembangunan ekonomi pedesaan, dilakukan pendekatan pada aspek kekuatan (= strengthen), kelemahan (= weaknesses), peluang (= opportunity ) dan ancaman (= threat ) atau disingkat SWOT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksistensi Lembaga Keuangan Mikro
Hasil identifikasi di lapangan menjumpai terdapat tiga kategori bentuk LKM yang berkembang yakni LKM Bank, LKM Koperasi dan LKM bukan Bank bukan Koperasi. Masing-masing LKM menerapkan skema perkreditan yang berbeda. Pola operasional LKM Bank mengikuti pendekatan perbankan umum/ konvensional, LKM Koperasi menerapkan pola simpan pinjam sedangkan LKM bukan Bank dan Bukan Koperasi pola operasionalnya beragam.
Skema perkreditan LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (B3K) tersebut meliputi replikasi pola Grameen bank, Gabungan Kelompok Tani dan Unit Permodalan Pengelola Permodalan Kelompok Petani (UPPKP). Pengelolaan keuangan oleh Gabungan Kelompok Tani dan UPPKP pada dasarnya merupakan wujud pengelolaan keuangan dengan sistem bergulir. Capital yang digunakan bersumber dari Bantuan Langsung Masyarakat (BLM).
Secara faktual, pelayanan LKM contoh di lokasi pengkajian telah menunjukkan keberhasilan. LKM yang mereplikasi pola GB di Nanggung Bogor-Jawa Barat yang dikelola YPKUM, LKM UMKM di Tangerang-Banten yang dibina IPB, telah menunjukan keberhasilan, ditandai oleh beberapa indikator seperti dikemukakan Cristina dalam Syukur (2002). Dampak keberhasilan dilihat dari beberapa perubahan antara lain adanya peningkatan partisipasi pendidikan anak-anak, peningkatan pendapatan pengusaha warungwarung kecil, dan peningkatan aset rumah tangga.
Dari sisi kelembagaan, indikator keberhasilan ditunjukkan oleh perkembangan jumlah peserta dan perkembangan aset serta dana yang terserap. Di LKM yang dikelola YPKUM Bogor-Jawa Barat misalnya, dana yang sudah tersalurkan sejak tahun 1989 sampai bulan Maret 2007 mencapai Rp 12 Milyar dengan kecenderungan meningkat, jumlah tabungan anggota mencapai 2,6 Milyard. Non Perfomance Loan (NPL), yang menunjukkan rasio tunggakan terhadap jumlah pinjaman relatif kecil (1,9 %), jauh dibawah batas toleransi (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan cukup bermanfaat bagi masyarakat sebagai tambahan modal untuk usaha produktif. Buktinya, mereka mampu membayar angsuran kredit dengan lancar.
Wilayah kerja, jumlah nasabah dan jumlah pinjaman juga terus meningkat. Pada awalnya, jumlah nasabah hanya 10 orang pada 1 desa dan 1 kecamatan. Menginjak bulan Maret 2007 jumlah nasabah meningkat pesat mencapai 5880 orang, tersebar di 12 kecamatan dan 83 desa. Ada sebanyak 1491 kumpulan (kelompok kecil) yang terdiri dari 5 orang) dan 394 rembug pusat (terdiri dari 2 - 6 kumpulan). Jumlah pinjaman per orangan pun mengalami peningkatan cukup tajam, pada awalnya besarnya pinjaman anggota hanya sebesar Rp 200.000, sekarang sudah ada yang boleh meminjam sebesar Rp 3 juta/th dengan bunga pinjaman 2,5 % per bulan atau 30% per tahun.
Keberhasilan LKM di Tangerang teridentifikasi dari kemampuan LKM memberikan sumbangan terhadap PAD yang volumenya cenderung meningkat. Jika pada tahun 2006 menyetor PAD sebesar Rp 289 Juta, maka setoran untuk tahun 2007 telah ditargetkan akan mencapai Rp 600 juta. Modal awal LKM diperoleh dari Pemda Kabupaten Tangerang semenjak 2004, dan terus didukung Pemda sampai tahun 2007 sehingga total modal sampai tahun 2007 mencapai Rp 3,26 milyard.
Dari aset tabungan dan cash money menunjukkan LPP-UMKM telah memiliki aset yang memadai. Tabungan yang dimiliki sampai tahun 2007 tercatat sebesar Rp 7,5 milyar dengan total piutang yang beredar di nasabah sebesar 5,7 milyar. Sedangkan cash money berupa aktiva lancar yang tersedia sebanyak Rp 1,3 milyar. Perputaran uang cukup besar, sebagai gambaran total penerimaan yang diterima LPP-UMKM per bulan sekitar Rp 230 juta. Setelah dikurangi biaya operasional, lembaga ini masih mendapatkan keuntungan Rp 100 juta per bulan.
Dari sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat, meskipun awalnya digerakkan oleh segelintir orang namun dalam perkembangannya mengalami peningkatan pesat. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam kepengurusan LKM tercatat 53 orang karyawan (46 laki-laki dan 7 perempuan) dengan total wilayah layanan mencapai 7 kecamatan di Kabupaten Tangerang.
Tingkat keberhasilan yang dicapai LKM tersebut, agak berbeda dengan LKM sejenis yang khusus melayani kegiatan usahatani seperti LKM Prima Tani di Jatim, Sulsel dan NTB. Pada LKM yang disebutkan terakhir, kendalanya dihadapkan pada dukungan permodalan dan keberlanjutan kegiatan LKM terkait dengan aspek kaderisasi dan kapabilitas pengurus LKM.
Keberhasilan pengelolaan keuangan oleh UPPKP di Gunung Kidul dicirikan oleh semakin meningkatnya volume uang beredar di kelompok tani, dan semakin lancarnya tingkat pengembalian pinjaman. Kondisi tersebut jauih lebih baik dibandingkan dengan ketika pengelolaan keuangan kelompok ini masih dilakukan institusi penyalurnya (Dinas Teknis terkait dengan Pertanian). Sementara itu di Sleman, penyaluran pembiayaan usahatani yang dilakukan secara bergulir juga menunjukkan keberhasilan, ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan anggota kelompok dalam mengembalikan pinjaman sehingga volume pinjamannya juga lebih meningkat lagi. Kemampuan tersebut merupakan cerminan efektifnya pinjaman dalam penggunaannya di sektor usahatani.
Hasil studi Holloh dan Prins (2006) menunjukkan bahwa disamping ada LKM yang berhasil, ada pula yang kurang berhasil bahkan mandeg (stagnan). LKM yang pesat pertumbuhannya adalah BPR yang beroperasi di daerah perkotaan dan semi-perkotaan, LPD (Bali) dan BMT (terutama di Jawa Tengah & Jawa Timur). Sedangkan yang mengalami kemandegan misalnya keluarga LKM seperti LDKP (tidak termasuk LPD) dan BKD. Berbagai embrio LKM yang ditimbulkan proyek-proyek seperti UPK/D belum menunjukkan kemampuan untuk menghimpun simpanan dan menjalankan kegiatan operasionil secara berkesinambungan karena terkait dengan aspek legalitas.

Faktor Kritis Pengelolaan LKM
Keunggulan usaha mikro yang sudah teruji sampai saat ini adalah resistensinya terhadap gejolak krisis ekonomi dan pengusaha usaha mikro biasanya merupakan debitor yang patuh membayar kewajiban kreditnya. Di dalam pengelolaannya dihadapkan pada faktor kritis yakni yang berkenaan dengan kelembagaan dan pengguna/nasabah.
Dari sisi kelembagaan, permasalahan terkait dengan aspek sustainabilitas/ keberlanjutan. Keberlanjutan LKM dipengaruhi oleh: (a) kapabilitas sumberdaya manusia (SDM) pengelola LKM dan (b) dukungan seed capital. Sementara itu diperlukan juga dukungan faktor eksternal antara lain berupa payung hukum bagi upaya pengembangan LKM. Rancangan Undang-undang LKM masih dalam perdebatan, namun menurut analisis para pakar ada kehawatiran bahwa UU LKM nantinya malah membatasi lingkup layanan LKM kepada masyarakat.
Dari sisi nasabah/pengguna, aspek yang menjadi faktor kritis terkait dengan karakteristik individu, jenis usaha dan kelayakan usahanya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa usaha di sektor pertanian kurang dilirik oleh LKM, dengan alasan: berisiko tinggi, perputaran cash flow lambat dan lain-lain. Dari pengalaman YPKUM Nanggung dan LPP UMKM Tangerang diketahui proporsi dana yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan di sektor pertanian tidak lebih dari 5 % dari total pagu kredit LKM. Sebagian besar dana LKM disiapkan untuk mendukung usaha di luar sektor pertanian. Oleh karena itu tidak mengherankan jika akhirnya muncul wacana untuk membentuk dan mengembangkan LKM sendiri guna mendukung usaha di sektor pertanian.

Perspektif LKM Pertanian
Belajar dari keberhasilan pengelolaan LKM untuk diterapkan dalam membangun LKM pertanian pada dasarnya dapat saja dilakukan dengan mengakomodasi beberapa pola yang sudah berkembang dengan melakukan penyesuaian. Pendekatan pola Grameen Bank, maupun pola UPPKP serta pola lainnya dapat dijadikan acuan salah satu alternatif skim perkreditan untuk diaplikasikan untuk mendukung usahatani, namun dengan beberapa penyesuaian terkait dengan karakteristik usahatani sebagai berikut:
(1). Pendekatan kelompok.
Makna pendekatan kelompok adalah sebagai penjaminan, kompensasi dari tidak adanya agunan (collateral). Kelompok diselaraskan dengan kelompok tani yang sudah eksis beranggotakan antara 20 – 30 orang.
(2). Perluasan sasaran pengguna kredit
Sasaran pengguna kredit tidak difokuskan untuk kaum ibu saja, melainkan perlu juga melibatkan kaum Bapak. Karena yang menjadi anggota kelompok tani adalah kaum bapak dan yang mengetahui kebutuhan dana untuk adopsi teknologi usahatani.
(3). Seleksi calon pengguna kredit
Indikator seleksi disesuaikan dengan keragaan usahatani, salah satunya yang penting dipertimbangkan adalah adanya diversifikasi usaha (on farm dengan off farm dan non farm).
(4). Volume Pagu Kredit
Volume pagu kredit minimal mampu memenuhi standar kebutuhan tambahan biaya usahatani dan realisasi pencairannya disesuaikan dengan perilaku pola tanam. Studi kelayakan usahatani menjadi acuan. Tiap orang kebutuhannya akan berbeda.
(5). Bunga Pinjaman
Bunga pinjaman terkait dengan keberlanjutan perkreditan. Oleh karena itu patokannya adalah bunga komersial sesuai pasar.
(6). Waktu pengembalian cicilan
Pembayaran cicilan bisa dikelompokkan dalam bentuk mingguan dan atau setelah panen. Komposisi jumlah cicilan mingguan dan setelah panen (disesuaikan dengan perkiraan sumber pendapatan nasabah). Disarankan komposisi jumlah cicilan mingguan lebih besar dari pada cicilan setelah panen, misal 70% berbanding 30%.
(7). Pendampingan dan Monitoring
Pendampingan dan monitoring secara berkelanjutan, sehingga jika terjadi masalah selama proses pemanfatan kredit bisa segera dicarikan solusinya.
(8). Pelatihan
Pelatihan diperlukan terutama bagi pengurus LKM untuk secara terus menerus meningkatkan kapabilitas manajemen LKM

Langkah Strategis Inisiasi LKM
Strategi utama untuk memprakarsai pembentukan dan pengembangan LKM di sektor pertanian selain harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kelembagaan, secara operasional hendaknya dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
(1) Menetapkan terlebih dahulu kriteria calon kelompok sasaran, antara lain terkait dengan eksistensinya sebagai kelompok paling tidak dalam dua tahun terakhir. Dalam penetapan calon kelompok sasaran ini seyogyanya berpedoman pada mekanisme yang sistematis dan terstruktur berdasarkan langkah-langkah kegiatan yang mengarah pada operasionalisasi kegiatan.
(2) Kelompok terpilih yang sudah memenuhi kriteria tersebut diseleksi oleh pendamping lokasi. Seleksi didasarkan pada prioritas pengembangan pertanian.
(3) Dari seleksi tersebut menghasilkan sasaran kelompok yang layak melakukan kegiatan jasa pelayanan keuangan. Aspek kelayakan didasarkan pada keragaan organisasi kelompok tani yang difokuskan pada kondisi kinerja organisasi kelompok tani.
(4) Memprakarsai penyaluran dan pemanfaatan dana penguatan modal usaha kelompok (penyediaan seed capital).
(5) Melakukan pendampingan dan asistensi terhadap kegiatan kelompok dalam melakukan pelayanan jasa keuangan, termasuk dalam adminitrasi pengelolaan dana.
(6) Mendorong kegiatan kelompok ke arah kegiatan pengelolaan LKM yang berkelanjutan (sustainabel). LKM harus terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga atau aparat pemerintah dan swasta secara langsung telah berkurang.
(7) Melakukan pelatihan bagi pengurus LKM untuk meningkatkan kapabilitas pengurus dalam mengelola LKM, dan melakukan pembinaan usaha kepada nasabah agar usahanya memberikan nilai tambah yang tinggi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
(1) Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional;
(2) Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM;
(3) Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa layanan LKM;
Saran
Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah pengguna kredit.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Keuangan Mikro. http://www.profi.or.id/ind/.
Budiantoro. S. 2003. RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel Th II. No 8. www.ekonomirakyat.org.
Djoko Retnadi. 2003. Kunci Sukses Lembaga Keuangan Mikro, Pahami Karakteristik
Orang Kecil. Harian Kompas. Rabu, 13 Agustus 2003
Holloh, D dan Hendrik Prins. 2006. Pengaturan/Peraturan, Pengawasan & Dukungan Bagi Lembaga Keuangan Mikro Bukan Bank Bukan Koperasi. http://profi.or.id/ind/downloads/ThirdWindowsummary_MFIstudy_translation_Ind_
.pdf
Martowijoyo, S., 2002. Dampak Pemberlakuan Sistem Bank Perkreditan Rakyat Terhadap Kinerja Lembaga Pedesaan. Artikel - Th. I - No. 5. Jurnal Ekonomi Rakyat.
www.ekonomirakyat.org Sumodiningrat, G. 2003. Peranan Lembaga Keuangan Mikro Dalam Menanggulangi Kemiskinan Terkait Dengan Kebijakan otonomi Daerah. Artikel Th II No 1. Jurnal Ekonomi Pertanian. www.ekonomirakyat.go.id.
Syukur , M. 2002. Analisis Keberlanjutan dan Perilaku Ekonomi Peserta Skim Kredit Rumah Tangga Miskin. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB.
Syukur, M., 2006. Membangun Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Pertanian yang Berkelanjutan: Sebuah Pengalaman Lapang. Warta Prima Tani.Volume 1 Nomor 1. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Wijono, WW., 2005. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Kongkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan.Kajian Ekonomi dan Keuangan, Edisi Khusus. http://www.fiskal.depkeu. go.id/bkf/kajian/ wiloejo-1.pdf


0 komentar:

Posting Komentar